Jumat, 02 Agustus 2013

Makna Kebebasan Pers


Dalam era demokrasi sekarang ini, pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur komunikasi dan pengawasan rakyat terhadap lingkungan sistem pemerintahan, atau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, kemerdekaan pers sangat diperlukan untuk mewujudkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani. Hal ini merupakan amanat dari pasal 28 UUD 1945.
Kemerdekaan yang diberikan oleh konstitusi bukanlah suatu kebebesan yang benar-benar bebas. Kemerdekaan pers harus berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut beberapa fungsi pers misalnya yang dirumuskan dalam UU no 40/1999 adalah sebagai berikut.
a.       Fungsi Informasi
b.      Fungsi Pendidikan
c.       Fungsi Menghibur
d.      Fungsi Kontrol Sosial
Fungsi kontrol sosial terkandung dalam makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
1)      Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)
2)      Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
3)      Social support  (dukungan rakyat terhadap pemerintah)
4)      Social control (control masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)
Selain keempat fungsi diatas, pers nasional juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Disini lembaga pers tersebut akan memperoleh keuntungan dari berita yang mereka jual kemasyarakat baik dalam bentuk koran, oplah, dan sebagainya. Namun, lembaga pers tidak dibenarkan untuk menerima uang suap dari manapun.
Selain memiliki fungsi, pers juga memiliki peranan. Sesuai dengan pasal 6 UU No 40/1999, peranan pers adalah sebagai berikut.
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.      Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.       Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Reformasi yang terjadi tahun 1998 telah membawa perubahan besar dan cukup mendasar bagi pers. Pers yang sebelumnya terkekang dan hampir mati ditangan Soharto, kini bisa terbang bebas lagi. Pemerintahan masa Presiden B.J. Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers. Meskipun kebebasan pers ikut merugikan posisinya dalam pemilihan presiden. Urusan izin terbit dipermudah dan diperlancar oleh UU pers No. 40 tahun 1999, serta surat izin tidak lagi diperlukan.
Saat ini pers nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Dulu wartawan Indonesia dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak lagi karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak.
Lahirnya undang undang tersebut merupakan pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan menjaga independensinya.
Pers memiliki beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan, menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk ketimpangan. Pers selayaknya menjaga kebebasannya dengan tidak bertindak kebablasan.
Namun, Angin segar kebebasan pers mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak. Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal.
Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarakat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat.
Hadirin yang berbahagia,
Itulah sebagian potret dari keberadaan pers di negara kita. Masih banyak orang yang menyalahgunakan arti kebebasan pers. Mereka seolah lupa dengan kode etik yang mengikat mereka. Baik itu kode etik jurnalistik, kode profesi, kode etik wartawan indonesia, dan peraturan lainnya.
Masuknya globalisasi telah mempengaruhi pemikiran dan tindakan seluruh elemen bangsa, termasuk pers. Sebagai negara timur yang menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai keluhuran budaya bangsa, sebaiknya kita tidak melakukan hal-hal seperti itu. Kita harus menjadi pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis.
Pers Pancasila sepertinya merupakan pers yang tepat untuk kita. Pers yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kita juga harus mempunyai tanggungjawab sosial didalamnya. Kita harus bisa menghasilkan pers yang sehat dan juga pers yang dapat memberikan pelajaran yang baik kepada masyarakat.
Selain itu juga, peran serta masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat dapat mengontrol perilaku dari pers. Masyarakat mempunyai hak jawab yang dapat digunakannya setiap waktu untuk mengontrol perilaku pers.
Saat ini banyak sekali kekerasan yang dilakukan masyarakat bahkan aparat penegak hukum terhadap pers. Lembaga bantuan hukum pers mencatat, selama kurun waktu dua bulan terakhir, yakni Januari-Februari 2011, tercatat 22 kasus kekerasan yang menimpa para wartawan, baik fisik maupun nonfisik. Selama tahun 2010, telah terjadi 66 kasus kekerasan terhadap wartawan. Kasus ini terdiri atas 37 kasus kekerasan fisik (pemukulan, pengeroyokan hingga pembunuhan) dan 29 kasus kekerasan non fisik (perampasan kamera, pelarangan peliputan, intimidasi dan acaman teror).
Kasus yang menimpa para wartawan selama ini tidak lepas dari kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pers. Ketika mereka merasa dirugikan mereka langsung menggunakan kekerasan terhadap wartawan yang meliput. Padahal, mereka punya hak jawab untuk menyelesaikannya.
Saat ini hanya oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan kebebasan pers tersebut. Namun, masyarakat indonesia bukanlah masyarakat yang brutal dan mudah menerima. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan membuat masyarakat kita kritis dalam menghadapi setiap masalah. Masyarakat akan menilai setiap perilaku dari pelaku pers, dan pers yang tidak bermutu dan berbobot akan mudah ditinggalkan pembacanya.