Dalam era demokrasi sekarang ini, pers merupakan
salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur komunikasi dan pengawasan
rakyat terhadap lingkungan sistem pemerintahan, atau dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, kemerdekaan pers
sangat diperlukan untuk mewujudkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan
pendapat sesuai dengan hati nurani. Hal ini merupakan amanat dari pasal 28 UUD
1945.
Kemerdekaan yang diberikan oleh konstitusi
bukanlah suatu kebebesan yang benar-benar bebas. Kemerdekaan pers harus berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut beberapa fungsi pers misalnya yang dirumuskan dalam UU
no 40/1999 adalah sebagai berikut.
a. Fungsi Informasi
b. Fungsi Pendidikan
c. Fungsi Menghibur
d. Fungsi Kontrol Sosial
Fungsi kontrol sosial terkandung dalam makna
demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
1) Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)
2)
Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
3)
Social support (dukungan rakyat terhadap
pemerintah)
4)
Social control (control masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)
Selain keempat fungsi diatas, pers nasional juga
dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Disini lembaga pers tersebut akan memperoleh
keuntungan dari berita yang mereka jual kemasyarakat baik dalam bentuk koran,
oplah, dan sebagainya. Namun, lembaga pers tidak dibenarkan untuk menerima uang
suap dari manapun.
Selain memiliki fungsi, pers juga memiliki
peranan. Sesuai dengan pasal 6 UU No 40/1999, peranan pers adalah sebagai
berikut.
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan
saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Reformasi yang terjadi tahun 1998 telah membawa
perubahan besar dan cukup mendasar bagi pers. Pers yang sebelumnya terkekang
dan hampir mati ditangan Soharto, kini bisa terbang bebas lagi. Pemerintahan
masa Presiden B.J. Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan
pers. Meskipun kebebasan pers ikut merugikan posisinya dalam pemilihan
presiden. Urusan izin terbit dipermudah dan diperlancar oleh UU pers No. 40
tahun 1999, serta surat izin tidak lagi diperlukan.
Saat ini pers nasional
benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut
lagi pada pemerintah. Mereka ini benar-benar
menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Dulu wartawan Indonesia dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari
pemerintah. Kini tidak lagi karena keberadaan
Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak.
Lahirnya undang undang
tersebut merupakan pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan
bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol
sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat.
Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam
pasal 1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan
pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan menjaga independensinya.
Pers memiliki
beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja
jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang
dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen
kewartawanan dan media. Bertanggung jawab secara
hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan
keberpihakan, menjaga netralitas dengan berita
yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk
ketimpangan. Pers selayaknya menjaga kebebasannya
dengan tidak bertindak kebablasan.
Namun, Angin segar
kebebasan pers mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak
media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri.
Kebebasan adalah ketakbebasan yang mengarahkan
media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan
pembatasan umur komsumtif yang melahirkan
tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam
pemberitaan yang memihak. Media kemudian
terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal.
Bebasnya pers,
cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga
menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja,
termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi
rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik
kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan
sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik
dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan
birokrat, pengusaha dan politikus dengan
membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya
lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan
cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers
yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga
ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan
baru yakni pers yang memiliki keberpihakan,
kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarakat. Pers
idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan
riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers
dengan menyembunyikan fakta, mengurangi
informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai
berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat.
Hadirin yang berbahagia,
Itulah sebagian
potret dari keberadaan pers di negara kita. Masih banyak orang yang
menyalahgunakan arti kebebasan pers. Mereka seolah lupa dengan kode etik yang
mengikat mereka. Baik itu kode etik jurnalistik, kode profesi, kode etik
wartawan indonesia, dan peraturan lainnya.
Masuknya
globalisasi telah mempengaruhi pemikiran dan tindakan seluruh elemen bangsa,
termasuk pers. Sebagai negara timur yang menjunjung tinggi norma dan
nilai-nilai keluhuran budaya bangsa, sebaiknya kita tidak melakukan hal-hal
seperti itu. Kita harus menjadi pers yang sehat, bebas dan
bertanggung jawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta
mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan
golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi di
dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis.
Pers Pancasila sepertinya merupakan pers yang
tepat untuk kita. Pers yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Kebebasan
bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kita juga harus mempunyai tanggungjawab
sosial didalamnya. Kita harus bisa menghasilkan pers yang sehat dan juga pers
yang dapat memberikan pelajaran yang baik kepada masyarakat.
Selain itu juga, peran serta masyarakat sangat
diperlukan. Masyarakat dapat mengontrol perilaku dari pers. Masyarakat
mempunyai hak jawab yang dapat digunakannya setiap waktu untuk mengontrol
perilaku pers.
Saat ini banyak sekali kekerasan yang dilakukan
masyarakat bahkan aparat penegak hukum terhadap pers. Lembaga bantuan hukum
pers mencatat, selama kurun waktu dua bulan terakhir, yakni Januari-Februari
2011, tercatat 22 kasus kekerasan yang menimpa para wartawan, baik fisik maupun
nonfisik. Selama tahun 2010, telah terjadi 66 kasus kekerasan terhadap
wartawan. Kasus ini terdiri atas 37 kasus kekerasan
fisik (pemukulan, pengeroyokan hingga pembunuhan) dan 29 kasus kekerasan non
fisik (perampasan kamera, pelarangan peliputan, intimidasi dan acaman teror).
Kasus yang menimpa para wartawan selama ini tidak
lepas dari kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pers. Ketika mereka merasa
dirugikan mereka langsung menggunakan kekerasan terhadap wartawan yang meliput.
Padahal, mereka punya hak jawab untuk menyelesaikannya.
Saat ini hanya oknum-oknum tertentu yang
memanfaatkan kebebasan pers tersebut. Namun, masyarakat indonesia bukanlah
masyarakat yang brutal dan mudah menerima. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
membuat masyarakat kita kritis dalam menghadapi setiap masalah. Masyarakat akan
menilai setiap perilaku dari pelaku pers, dan pers yang tidak bermutu dan
berbobot akan mudah ditinggalkan pembacanya.