Embun pagi ini masih begitu terasa. Sayup-sayup kokokan ayam itu
perlahan-lahan mengecil dan akhirnya menghilang. Mataharipun baru sedikit
menampakkan sinarnya yang begitu terang dan berarti bagi kehidupan. Terlihat
sesosok anak kecil yang belum genap berusia 10 tahun. Pakaian putih dan celana
merah yang dikenakannya menambah semaraknya pagi ini.
“aku pergi dulu ya mak” ucapnya. “uhuk…uhuk… hati-hati ya nak” jawab
ibunya yang sejak seminggu lalu sakit. “hati-hati kalau ketemu konde…nanti kamu terseret” sambung sang
ibu yang cemas terhadap anaknya. “iya bu” ucapnya sambil mencium tangan halus
dan lembut ibunya. Sang ibu pun mencium keningnya dan seperti mengucapkan
sebuah do’a untuknya.
Inilah Haris Nursalam. Sebuah nama yang bagus untuk orang semiskin
dia. Nama ini diberikan oleh seorang ustadz di desa Sungai Penibung, Kutipang
Raya. Nama ini memiliki arti “penjaga cahaya keselamatan” . dia terlahir dari
keluarga yang tidak mampu. Ketika dia berumur 6 tahun ayahnya pergi
meninggalkannya dan sang ibu untuk pergi bekerja ke ibukota. Sampai kini kabar
tentang ayahnyapun tiada didapati.
Sekolah haris memang jauh dari rumah. Jaraknya bisa mencapai 5 km.
Apalagi dengan kondisi jalan yang bisa dibilang tidak cukup bagus. Bahkan bisa
dibilang hancur. Kalau hujan turun bisa dipastikan haris dan teman yang lain
tidak bisa melewati jalan itu. Itupun baru sampai sungai konde yang mengalir
deras memisahkan dua perkampungan sederhana. Apalagi semenjak ada pabrik kelapa
yang berada didesa sebelah membuat kondisi jalan semakin parah kerusakannya.
Hal ini terjadi karena mobil pabrik yang setiap hari beroperasi dengan
mengangkat beban yang melebihi kapasitas jalan sehingga jalan banyak yang
hancur.
Hidup yang begitu berat ini tidak membuatnya patah semangat dalam
menjalani hidup. Selalu saja tampak wajah yang ceria keluar dari parasnya yang
mungil. Senyumnya yang khas membuat orang semakin yakin kalau hidupnya tanpa
masalah, padahal masalah yang ditanggungnya cukup besar untuk anak sekecil itu.
Sepulang dari sekolah ia harus cepat-cepat pulang kerumah. Tak bisa
ia habiskan waktu siangnya untuk bermain bersama-sama dengan temannya yang
lain. Ia harus merawat ibunya yang sakit-sakitan. Bahkan ia harus bekerja untuk
bisa makan sesuap nasi.
***
“Assalamualaikum” suara itu terdengar sayup-sayup dihadapan sebuah
rumah reyot. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Lantainya terbuat dari
batang pohon pinang yang dibelah menjadi 2 kemudian disusun menjadi lantai.
Atapnya terbuat dari rumbia. Rumahnya
berukuran 5 x 6 meter dengan halaman didepan rumahnya.
Tidak terdengar suara sahutan dari dalam rumah. “Assalamualaikum”
Harispun mengulanginya untuk yang kedua kalinya. Kali ini juga tidak terdengar
suara sahutan sang Ibu yang sedang dalam keadaan sakit. Kali ini Haris mengetuk
pintu yang terbuat dari kayu itu.
Tampak kekhawatiran di wajah Haris. Firasatnya mengatakan bahwa
terjadi sesuatu pada ibunya. Betapa tidak, dari tadi ibunya tidak juga menyahut
salamnya. Sudah beberapa kali pintu rumahnya yang reyot digedornya, tapi suara
yang diharapkannya belum juga terdengar.
Saat itu, hari begitu panas. Matahari bersinar begitu terik menembus
kulit muka haris yang nampak cemas dengan keadaan ibunya. Orang-orang tidak
nampak berkeliaran di desa sungai penibung. Hidupnya bagaikan sendiri dalam
sulitnya hidup ini.
Tiba-tiba datang seseorang paruh baya dengan wajah yang selalu
terpancar senyum dari bibirnya. Ternyata dia adalah pak Mudi, tetangga Haris
yang biasa memberinya uang. Pak Mudi ini merupakan salah satu orang yang
terpandang di kampung sungai penibung. Tanahnya yang luas ditanami berbaris-baris kelapa. Di sanalah
biasanya Haris bekerja membantu pak Mudi.
“Kamu mencari ibumu?” kata pak Mudi dengan melemparkan senyum kepada
haris. “ ia pak” jawab Haris dengan singkat. “daritadi aku ketuk-ketuk pintu
tapi ibu tidak ada menyahut dan membukakan pintu untukku” sambung Haris. “bapak juga daritadi tidak melihat ada
ibumu. Biasanya dia duduk diluar”
***
“bapak…aku mau sekolah. Aku ingin seperti yang lain.” Ucap haris
kecil. “nanti ya nak, kalau bapak ada uang” jawab sang bapak untuk menenangkan
keinginan anaknya. “jawabnya itu terus…aku mau sekolah” teriaknya sambil
menangis. “iya nanti bapak carikan uangnya. Udah teruskan mainnya dengan udin
bapak mau istirahat dulu” jawab bapak haris menenangkan sang anak.
“tuh dengarkan din. Aku nanti
mau sekolah. Aku mau jadi kepala desa, kamu mau tidak jadi sepertiku din?” kata
haris kepada udin teman main congkaknya.
“ ah aku ngak mau, nanti aku kayak pak kades yang kemarin dibawa pak polisi kata
bapakku dia maling uang. Aku mau jualan
aja kayak bapakku” jawab udin membalas
tawaran Haris. ”hmm… gitu ya din. Tapi aku tidak mau seperti dia din. Aku tidak
mau ditangkap polisi nanti kasihan mamaku” harispun menanggapi.
“ah kamu curang
ne” Harispun berteriak. Ternyata udin berbuat curang saat bermain congkak.
Congkak adalah sebuah permainan tradisional
yang dimainkan oleh 2 orang terdiri dari
papan congkak dan biji congkak. Biasanya papan congkak terbuat dari kayu,
plastik, bahkan bisa dibuat ditanah dengan membuat melubangi tanah. Papan ini
terdiri dari 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling
berhadapan dan 2 lubang besar dikedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil disisi
pemain dan lubang besar disisi kanannya dianggap sebagai milik sang pemain.
Setiap pemain bergantian mengambil buah dari salah satu lubang miliknya
kemudian meletakkan satu ke lubang sebelah kanannya dan seterusnya.
“hehe… akhirnya ketahuan juga” ucap udin dengan malu-malu. “
permainan aku sebenarnya mati ni. Sekarang giliranmu” tambah udin yang sudah
ketahuan bermain curang. “huh… kecil kecil dah pandai curang” ucap haris.
“hehe…” udin hanya bisa senyum-senyum karena udah terlanjur malu.
Betapa bahagianya anak itu. Haris kecil belum begitu mengerti dengan
kondisi orang tuanya yang hidup dalam garis kemiskinan. sang ayah mendengar
percakapan putranya dan berkata “Do’akan
ayah semoga ayah dapat uang banyak”. “ayah mau kemana?” jawab haris yang masih
berusia 6 tahun. “besok ayah mau pergi keibukota untuk mencari uang sekolahmu”
pesan sang ayah.
Keesokan hari ayah Harispun pergi meninggalkan istri dan anaknya.
Dia harus pergi keibukota untuk mencari uang. Harispun hanya bisa terdiam. Sang
ayahpun mencium kening putranya dan pergi. Tak lama kemudian sang ayah sudah
menghilang dari pandangan si Haris.
***
Haris tak ingin lagi kehilangan orang yang ia sayangi. 4 tahun yang
lalu ia telah kehilangan ayahnya yang sampai saat ini belum tau kemana arahnya.
Kini ia harus dihadapkan pada keadaan ibunya. “coba kamu ketok lagi iris” kata
pak mudi. “kita berdo’a saja semoga tidak terjadi apa-apa dengan ibumu”
terangnya lagi untuk menenangkan Haris yang mulai gelisah.
Setelah lama di gedor belum juga terdengar suara ibu haris.
“bagaimana ini pak? Ibu tidak menyahut panggilan Haris. Apa ibu masih marah
dengan haris karena tadi pagi lambat bangun” ucap haris. Terlihat mata Haris
kini sudah mulai berkaca-kaca. “ya udah. Kita dobrak aja bagaimana?” sahut pak
Mudi memberikan solusi. “nanti bapak yang akan memperbaiki pintumu” tambahnya.
Harispun setuju untuk mendobrak pintu rumahnya yang sudah tampak
tua. Maklum rumah itu merupakan rumah peninggalan neneknya Haris yang telah
meninggal ketika Haris berusia 2 tahun. Walaupun rumah tua, ternyata mereka
berdua kesulitan untuk mendobrak rumah itu. Setelah melalui perjuangan yang
panjang akhirnya pintu itu berhasil terbuka.
Setelah pintu itu terbuka, betapa terkejutnya Haris melihat kondisi
ibunya yang terlihat tidak berdaya diatas tikar. Selama ini haris dan ibunya
tidak pernah merasakan empuknya tidur diatas kasur. Selama ini mereka hanya
tidur beralaskan tikar. Begitu kasihan melihat penderitaan yang dialami oleh
ibu haris. Matanya hanya bisa menatap anaknya yang matanya sudah berkaca-kaca.
“nak…” panggil ibunya lirih. Harispun mendekati ibunya yang sedang
sekarat. “ibu sudah tidak kuat lagi nak. Tolong ambilkan kotak didalam lemari
itu nak” sambung ibunya. Harispun mengambil kotak dilemari reot itu. “ ini bu
kotaknya, apa itu bu?” ucap haris penasaran. Ibunya membuka kotak dan mengambil
sebuah benda dari kotak itu. Benda itu adalah sebuah kalung yang terbuat dari
rotan. “ pakai ini nak. Ini pemberian ayahmu sebelum iya pergi. Carilah ayahmu,
gapai cita-citamu nak. Uhuk-uhuk… Laillahailallah” inilah kata-kata terakhir
yang diucapkan ibunya. Kini sang ibupun telah pergi dengan tenang ke hadirat
Allah yang maha kuasa. Air matapun terkucur deras dari anak ini. Pak mudi yang
menemaninyapun tak sanggup untuk berkata apa-apa lagi.
Setelah pemakaman sang ibu Harispun berpamitan kepada pak mudi untuk
pergi mencari ayahnya sesuai dengan amanat ibunya. Ia ditemani oleh Badrun,
tetangganya. Selain itu juga haris mengucapkan terima kasih kepada pak mudi
yang telah membantunya selama ini. “ ini bekal untukmu selama perjalanan nak.
Hati-hati dijalan ya. Bg Badrun akan menemanimu.” Ucap pak mudi kepada haris.
Harispun hanya mengangguk.
Perlahan-lahan bayangan haris dan badrunpun mulai menghilang. Kini
ia hanya berharap akan bertemu dengan ayahnya yang telah lama meninggalkannya.
Kalau dibilang hidup ia seakan mati tanpa orang tuanya. Tapi dibilang mati dia
masih bisa bernafas. Betapa tidak beruntungnya nasib anak ini. Sekecil ini ia
harus menanggung beban seberat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tambahkan komentar anda