A.
PENGERTIAN
Kata
paradigma berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu model, teladan, arketif
dan ideal. Berasal dari kata para yang berarti disamping memperlihatkan
dirinya.
Arti paradigma
ditinjau dari asal usul beberapa bahasa diantaranya :
v Menurut
bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan.
v Menurut
bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah dan
dikenal sedangkan deigma berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal.
v Menurut
kamus psycologi : paradigma diartikan sebagai
ü Satu
model atau pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan kadar
dari apa yang tersajikan.
ü Rencana
riset berdasarkan konsep-konsep khusus.
ü Satu
bentuk eksperimental
Secara
etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu pengetahuan atau
kerangka pikir. Sedangkan secara
terminologis arti paradigma sebagai berikut :
Ø Paradigma
adalah konstruksi
berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu
permasalahan dengan menggunakan teori formal, eksperimentasi dan metode
keilmuan yang terpecaya.
Ø Dasar-dasar
untuk menyeleksi problem dan pola untuk mencari permasalahan riset.
Ø Paradigma
adalah suatu pandangan terhadap dunia alam sekitarnya, yang merupakan
perspektif umum, suatu cara untuk menjabarkan masalah-masalah dunia nyata yang
kompleks.
Secara terminologi
paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.
Pengertian
paradigma menurut kamus filsafat adalah :
- Cara memandang sesuatu.
- Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
- Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
- Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Paradigma
adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik
tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai
realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita
itu.
B. PENGERTIAN
MENURUT AHLI
Pengertian
paradigma menurut Robert Friedrichs(1970) : Suatu pandangan yang mendasar dari
suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari.
Pengertian
paradigma menurut Patton(1975): Suatu
pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan
kompleksitas dunia nyata.
Pengertian
paradigma menurut George Ritzer(1980) : Pandangan yang mendasar dari para
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari
oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ritzer
mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus
dipelajari, persoalan-persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus
menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan
dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dari
pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan
dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa
komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang
menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh
cabang ilmu pengetahuan tersebut.
Pengertian
paradigma menurut Masterman diklasifikasikan dalam 3 pengertian paradigma :
1) Paradigma
metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
2) Paradigma
sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan
teori yang diterima secara umum.
3) Paradigma
konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu,
misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman
sendiri merumuskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari suatu ilmu yang
menjadi pokok persoalan yang dipelajari(a fundamental image a dicipline has of
its subject matter).
Denzin
& Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: sistem keyakinan
dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam
memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan
epistomologis.
Secara
singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan Paradigma merupakan
sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis, dan metodologi. Suatu paradigma dapat
dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik
fisik yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba
(1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga
pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Selanjutnya dijelaskan:
a. Ontologi:
Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari
realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan
tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi
mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
b. Epistomologi:
Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang
dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi
mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret
lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat
terjadi?
c. Metodologi:
Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat
dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti menemukan
pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara atau metoda
apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?
Sedang
Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi, dan
metodologi sebagai berikut:
a) Pertanyaan
ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat
diketahui tentangnya?”
b) Pertanyaan
epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi
peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
c) Pertanyaan
metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat
menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila
dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan Guba dan pandangan
Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta metodologi pada
dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba (1990) dan Denzin
& Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah sistem keyakinan dasar
yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan
kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk
mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan
antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.
Sedang
Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba (1990), Denzin & Lincoln
(1994) menyimpulkan paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Dalam
bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma didefinisikan sebagai sejumlah
perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat ilmu
pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Dalam
komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang banyak digunakan mengacu pada
definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam buku: Sociology A Multiple
Paradigm Science (1975): paradigma merupakan gambaran fundamental tentang pokok
permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan
definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus
dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus
dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan
suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu
membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma
memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan
instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Eksemplar adalah contoh
atau model penelitian yang secara konsisten (kurang lebih) memperlihatkan
hubungan antara gambaran fundamental tentang pokok permasalahan, teori, dan
metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Definisi
paradigma yang dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu
ontologi, epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan:
“paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari
(asumsi ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi epistomologi),
bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi
dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan
demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama
dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi
ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Menurut
Creswell (1994:6), paradigma merupakan landasan untuk mencari jawaban atas lima
pertanyaan mendasar, yaitu ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan
metodologi. Aksiologi adalah jawaban atas pertanyaan apa peranan nilai, sedang
retorika adalah jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang digunakan dalam
penelitian.
Dari
semua uraian di atas dapatlah dikemukakan bagaimana seseorang mengembangkan dan
menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan melihat cara pandang yang
digunakan dalam menjawab lima pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi,
epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Oleh karena itu, uraian
selanjutnya akan dikemukakan prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi
paradigma dalam penelitian kuantitatif dan dalam penelitian kualitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tambahkan komentar anda